Kita berjalan dan hidup dalam
dimensi heterogen, kita semua dapat menemukan banyak kejadian-kejadian yang
memaksa kita berfikir keras untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tentang arti kenapa kita hidup dan untuk apa kita hidup.
Dunia ini alam yang fana, alam dimana kita bergelut dengan kompleksitas serta
problematika dari A sampai Z yang terkadang menggoda, merayu dan memanjakan
kita dengan pesonanya ibarat perempuan jalang penuh tipu daya dan terkadang
kita lupa tentang hakekat tujuan akhir.
Dalam renungan imajinasi yang
terlena dalam pelukan syahwat jiwa, mencumbui tubuh telanjang keinginan dan nafsu
sambil menjilati liar penuh birahi pencapaian klimaks orgasme perjalanan, hati
kita terkadang buta dan dibutakan oleh apa yang disebut surga duniawi. Kita
lupa bahwa kita hanyalah serangkaian tulang belulang yang di bungkus segumpal
daging, kita khilap bahwa kita hanyalah sebiji kepala hasil dari bercampurnya
sperma Adam dan sel telur Hawa yang kemudian serta-merta berdiri diatas muka
bumi sebagai makhluk yang penuh ego bernama manusia.
Terkadang hidup ini begitu
sederhana, sesederhana pepatah Jawa ““Urip kuwi mung sadelo, paribasane mung
mampir ngombe” (Hidup itu hanya
sebentar, ibarat orang yang singgah untuk minum). Kemudian yang jadi masalah
ketika ia mampir hanya melepas lelah saja biasanya manusia lupa dan terlena
kemudian tidur dan terbuai mimpi-mimpi indah sehingga ia melupakan kelanjutan
perjalanannya. Kita berada di antara “sadar” dan “ketidak-sadaran”, sadar bahwa
kita memang hidup di dunia dan tidak sadar bahwa akan ada kehidupan lain yang
akan kita jalani selanjutnya.
Terlepas dari pemahaman
dan pro kontra idealisme tentang ada dan tidak adanya kehidupan lain setelah
kehidupan yang kita sedang nikmati sekarang , tulisan ini hanya sebatas curahan seonggok otak manusia biasa yang sedang merindukan
kedamaian, mencoba memahami sebuah “tanda tanya” dan sederet “teka-teki” yang
sedang dijalani. Sebuah curahan konsep yang berasal dari dunia ide yang
terpisah.
Hidup ini hanya terdiri
dari dua warna yang berbeda yaitu warna kebaikan dan warna kejahatan yang
keduanya saling bertolak belakang dalam satu kesatuan ibarat sebuah keping mata
uang dengan dua muka saling membelakangi, inilah yang dinamakan “dua warna
keping kehidupan” oleh saya.
Manusia tercipta dari
percampuran saripati yang sempurna (sperma dan sel telur), kecuali Adam dan
Hawa, Adam diciptakan dari tanah (saripati) langsung tanpa ada proses
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan sedangkan Hawa diciptakan dari
bagian Adam (tulang rusuk) seperti yang dikisahkan dalam agama dan dipercaya
oleh sebagian besar manusia dengan mengenyampingkan sebuah teori evolusi dari
Darwin.
Kehidupan tidak
terlepas dari konsep spiritual dan religious, beserta simbol-simbol yang
menjadi ide analogi dalam penjabarannya seperti halnya M.D Atmaja dalam sebuah
artikelnya “Pencapaian Kemerdekaan Dengan Membunuh”(1). Ia menggunakan simbolisasi
warna merah dan putih sebagai pijakan analogi spiritual mengenai sebuah skema
pembangun kehidupan manusia, merah diartikan sebagai darah dan putih sebagai
tulang atau sperma. Perumpamaan itu merujuk terhadap kepercayaan masyarakat
Jawa bahwa warna merah melambangkan rahim dan vagina pada perempuan sedangkan
putih melambangkan sperma dan penis sebagai perangkat pada laki-laki. Makanya dalam
kebudayaan masyarakat Jawa jika memperingati kelahiran ada semacam sajian yang
dominasi warnanya merah dan putih (bubur merah dan putih) ini mengisyaratkan
bahwa manusia terlahir dari percampuran antara unsur ayah dan ibu (sperma dan
sel telur).
Namun terlepas dari
perumpamaan-perumpamaan yang ada serta pemahaman-pemahaman yang berkembang,
baik yang berlandaskan ilmu pengetahuan ataupun ide spiritualitas ada benang
merah yang dapat saling berhubungan bahwa kita terlahir bukan tanpa sebab dan
bukan tanpa tujuan. Pertanyaan saya adalah apa yang menjadi tujuan kita
selanjutnya, dan sebagai manusia yang masih percaya tentang Tuhan, saya
menjawabnya dengan kalimat “Tujuan selanjutnya adalah mencari dan menemukan
Tuhan”, sedangkan kapan dan dimana kita bisa menemukannya? Untuk sementara saya
menjawabnya bahwa Tuhan bisa ditemui kapanpun dan dimanapun serta ia selalu
bersama kita, ia tahu apa yang tidak diketahui orang lain, ia mengetahui segala
tindak laku kita, ia mengetahui persis keinginan kita, karena Tuhan sejatinya
adalah nurani kita, jiwa kita. Kita adalah Tuhan itu sendiri.
Izinkan saya mengutip
beberapa ayat yang saya temukan dalam Al-Quran
“Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al
Ahzab:54]. (2)
__________________________________________
Sumber Pustaka
(1) M D. Atmaja, ““Pencapaian Kemerdekaan Dengan Membunuh”
(2)
A-Quran, “Surat Al-Ahzab:54”
----------------------------------------------------------------------
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
REPUBLIK BADJINGAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar